Pages

Mei 28, 2010

Prambanan


Candi Prambanan adalah bangunan luar biasa cantik yang dibangun di abad ke-10 pada masa pemerintahan dua raja, Rakai Pikatan dan Rakai Balitung. Menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi dari Candi Borobudur), berdirinya candi ini telah memenuhi keinginan pembuatnya, menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa. Candi ini terletak 17 kilometer dari pusat kota Yogyakarta, di tengah area yang kini dibangun taman indah.

Ada sebuah legenda yang selalu diceritakan masyarakat Jawa tentang candi ini. Alkisah, lelaki bernama Bandung Bondowoso mencintai Roro Jonggrang. Karena tak mencintai, Jonggrang meminta Bondowoso membuat candi dengan 1000 arca dalam semalam. Permintaan itu hampir terpenuhi sebelum Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi dan membuat api besar agar terbentuk suasana seperti pagi hari. Bondowoso yang baru dapat membuat 999 arca kemudian mengutuk Jonggrang menjadi arca yang ke-1000 karena merasa dicurangi.

Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, halaman kedua memiliki 224 candi.

Memasuki candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan menemui 4 buah ruangan. Satu ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda yang diceritakan di atas.

Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa, anda hanya akan menjumpai satu ruangan yang berisi arca Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa, anda juga hanya akan menemukan satu ruangan berisi arca Brahma.

Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda. Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti 'terbit' atau 'bersinar', biasa diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).

Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara. Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha Krut.

Prambanan juga memiliki relief candi yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.

Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru kini juga digunakan untuk berbagai kepentingan. Di Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Bahkan, beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti bahwa relief yang ada di Prambanan telah mendunia.

Kalau cermat, anda juga bisa melihat berbagai relief burung, kali ini burung yang nyata. Relief-relief burung di Candi Prambanan begitu natural sehingga para biolog bahkan dapat mengidentifikasinya sampai tingkat genus. Salah satunya relief Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) yang mengundang pertanyaan. Sebabnya, burung itu sebenarnya hanya terdapat di Pulau Masakambing, sebuah pulau di tengah Laut Jawa. Lalu, apakah jenis itu dulu pernah banyak terdapat di Yogyakarta? Jawabannya silakan cari tahu sendiri. Sebab, hingga kini belum ada satu orang pun yang bisa memecahkan misteri itu.

Nah, masih banyak lagi yang bisa digali di Prambanan. Anda tak boleh jemu tentunya. Kalau pun akhirnya lelah, anda bisa beristirahat di taman sekitar candi. Tertarik? Datanglah segera. Sejak tanggal 18 September 2006, anda sudah bisa memasuki zona 1 Candi Prambanan meski belum bisa masuk ke dalam candi. Beberapa kerusakan akibat gempa 27 Mei 2006 lalu kini sedang diperbaiki.

Naskah: Yunanto Wiji Utomo

Mei 20, 2010

SEKATEN YOGYAKARTA


Di wilayah Kotamadya Yogyakarta, terdapat upacara adat yang disebut sebagai Sekaten atau yang lebih dikenal dengan istilah Pasar Malam Perayaan Sekaten karena sebelum upacara Sekaten diadakan kegiatan pasar malam terlebih dahulu selama satu bulan penuh. Tradisi yang ada sejak zaman Kerajaan Demak (abad ke-16) ini diadakan setahun sekali pada bulan Maulud, bulan ke tiga dalam tahun Jawa, dengan mengambil lokasi di pelataran atau Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Asal usul istilah Sekaten berkembang dalam beberapa versi. Ada yang berpendapat bahwa Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka Kraton berupa gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam rangkaian acara peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata suka dan ati (suka hati, senang hati) karena orang-orang menyambut hari Maulud tersebut dengan perasaan syukur dan bahagia dalam perayaan pasar malam di Alun-alun Utara.

Pendapat lain mengatakan bahwa kata Sekaten berasal dari kata syahadataini, dua kalimat dalam Syahadat Islam, yaitu syahadat taukhid (Asyhadu alla ila-ha-ilallah) yang berarti "saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah" dan syahadat rasul (Waasyhadu anna Muhammadarrosululloh) yang berarti "saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah".

Upacara Sekaten dianggap sebagai perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan seni. Pada awal mula penyebaran agama Islam di Jawa, salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga, mempergunakan kesenian karawitan (gamelan Jawa) untuk memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitan-nya dengan menggunakan dua perangkat gamelan Kanjeng Kyai Sekati. Di sela-sela pergelaran, dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.

Di kalangan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, muncul keyakinan bahwa dengan ikut merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang bersangkutan akan mendapat pahala dari Yang Maha Agung, dan dianugerahi awet muda. Sebagai syarat, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan Sekaten. Oleh karena itu, selama perayaan, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih beserta lauk-pauknya di halaman Kemandungan, di Alun-alun Utara atau di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka membeli cambuk untuk dibawa pulang.

Sebelum upacara Sekaten dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu persiapan fisik dan spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah bunga kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, dan perlengkapan lainnya, serta naskah riwayat maulud Nabi Muhammad SAW.

Gamelan Sekaten adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati dalam dua rancak, yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan Sekaten tersebut dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitan dan disebut-sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukulnya dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau dan untuk dapat menghasilkan bunyi pukulan yang nyaring dan bening, alat pemukul harus diangkat setinggi dahi sebelum dipuk pada masing-masing gamelan.

Sedangkan Gendhing Sekaten adalah serangkaian lagu gendhing yang digunakan, yaitu Rambu pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em, Muru putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem, Supiatun pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet barang.

Untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa waktu menjelang Sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk mengembang tugas sakral tersebut. Terlebih para abdi dalem yang bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.

Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Di halaman Kemandungan atau Keben, banyak orang berjualan kinang dan nasi wuduk.

Lepas waktu sholat Isya, para abdi dalem yang bertugas di bangsal, memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelumnya Sri Sultan (atau wakil Sri Sultan) menaburkan udhik-udhik di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti, dan bangsal Trajumas.

Tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat siang harinya.

Pada tanggal 11 Maulud (Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid Agung untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.

YOGYAKARTA


Jogja (beberapa orang menyebutnya Yogyakarta, Jogjakarta, atau Yogya) adalah kota yang terkenal akan sejarah dan warisan budayanya. Jogja merupakan pusat kerajaan Mataram (1575-1640), dan sampai sekarang ada Kraton (Istana) yang masih berfungsi dalam arti yang sesungguhnya. Jogja juga memiliki banyak candi berusia ribuan tahun yang merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan besar jaman dahulu, di antaranya adalah Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9 oleh dinasti Syailendra.

Selain warisan budaya, Jogja memiliki panorama alam yang indah. Hamparan sawah nan hijau menyelimuti daerah pinggiran dengan Gunung Merapi tampak sebagai latar belakangnya. Pantai-pantai yang masih alami dengan mudah ditemukan di sebelah selatan Jogja.

Masyarakat di sini hidup dalam damai dan memiliki keramahan yang khas. Cobalah untuk mengelilingi kota dengan sepeda, becak, ataupun andong; Anda akan menemukan senyum yang tulus dan sapaan yang hangat di setiap sudut kota. Tanpa anda sadari, tiba-tiba anda akan merasa seperti sedang berada di rumah sendiri.

Atmosfir seni begitu terasa di Jogja. Malioboro, yang merupakan urat nadi Jogja, dibanjiri barang kerajinan dari segenap penjuru. Musisi jalanan pun selalu siap menghibur pengunjung warung-warung lesehan.

Banyak orang yang pernah berkunjung ke Jogja mengatakan bahwa kota ini selalu bikin kangen. Berkunjunglah ke sini, Anda pasti akan mengerti sebabnya.

Mei 16, 2010


Beberapa quote yang diambil dari catatan harian Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Mei 02, 2010

Kumpulan Tips Tips Motivasi

Check out this SlideShare Presentation:

Biography of Soe Hok Gie


Soe Hok Gie (lahir di Djakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.
Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).

Catatan Seorang Demonstran
Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat tiga hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.
John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).
Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film yang disutradarai Riri Riza, Gie, dengan Nicholas Saputra berperan sebagai Hok Gie.

April 25, 2010

Penginspirasi



Soe Hok Gie. Banyak orang yang tidak mengenal nama ini. Dia memang bukan penyanyi, bintang iklan, apalagi pemain sinetron. Dia adalah aktivis, pecinta alam, anggota Mapala UI (pada saat itu), alumni FSUI dan sebagainya. Sangking aktifnya orang ini, lelah jika harus menyebutkan siapa itu Gie. Dia memang mati muda. Wafat saat berada di Mahameru akibat menghirup gas beracun. Walaupun raga Gie sudah berada di tempat terakhir setiap makhluk hidup, tetapi segala yang ia lakukan masih membekas di hati dan pikiran setiap orang yang mengenalnya. Baik secara langsung atau tahu tentang sosoknya lewat film dan buku-buku.

Saya sangat mengagumi sosok Gie. Cara ia berfikir, cara ia bersikap, segala hal dari dia saya suka. Bahkan, dia yang bertanggung jawab atas pembentukkan karakter saya. Sosok Gie bisa mewakili dan bisa dibanggakan bagi jiwa muda. Pemuda kritis, penuh semangat, seorang patriot dan nasionalis adalah gambaran singkat tentang Gie. Saya bersyukur sempat tahu tentang sosok Gie walau hanya lewat film dan buku-buku. Dari Gie, saya belajar banyak hal. Sangat banyak hingga saya malas untuk menyebutkannya satu demi satu. Mungkin beda cerita bila ia masih hidup. Dan salah satu yang saya kagumi dari dia, sejak dulu, semasa ia masih hidup, ia sudah tahu lebih baik mati muda. Di salah satu tulisannya tertanggal 5 Januari 1962, hari Jumat, berisi:

Hidup

Terasa pendeknya hidup memandang sejarah

Tetapi terasa panjangnya karena derita.

Maut, tempat perhentian terakhir.

Nikmat datangnya dan selalu diberi salam.

Soe Hok-gie